Ia merupakan teriakan gagap dari orang yang menyerah. Kalut
atas sebuah takdir yang diketik tergesa. Seolah akhir cerita sudah
ditentukan saat penolakan terjadi. Perasaan yang meleleh. Ragu yang menembus
hati dengan kekuatan yang lebih hebat dari doa para pendosa. Ada yang lepas.
Menaut pada sungsai cerita lampau. Seperti anak itik yang lepas dari pelukan.
Ia merupakan teriakan gagap dari orang yang menyerah.
***
Ia jalan terakhir para pecundang. Meraung dalam satu titik
temu yang dilibas kegetiran. Perihal ciuman yang tak memiliki arti apapun. Atau
sebuah senyum sederhana yang meremukkan. Tentang sepetak mata yang pernah
ditinggali. Di sana ada sebuah guguran daun. Kering lagi rapuh. Seakan jika ada
sebuah nafas yang terlampau keras terhembus. Dedaunan itu akan lumat menjadi
serpih pilu. Sehingga diam adalah bahasa lain dari 'maaf'. Ia jalan terakhir
para pecundang.
***
"Maka biarlah aku berlalu. Seperti gelap yang menelan
malam," katamu suatu malam.
"Kau tak pernah pergi," aku menahan laut yang
bergelombang dalam sudut mataku. "Kau hanya berpindah. Tapi akan selalu
ada, satu pojok kecil. Sebuah lubang yang menunggu kau isi. Entah kapan,"
***
"Kita adalah sebuah lelucon
yang dibuat tuhan. Tapi terlalu gagu untuk bisa dipahami sebagai ujian,"
Karena satu adalah bahasa yang punah. Bahkan sebelum kau
mencoba.
diambil dari anatomi kehilangan milik
tuan Arman Dhani Bustomi
No comments:
Post a Comment