Sunday, June 17, 2012

Kita adalah sebuah lelucon yang dibuat tuhan




Ia merupakan teriakan gagap dari orang yang menyerah. Kalut atas sebuah takdir yang diketik tergesa. Seolah akhir cerita sudah ditentukan saat penolakan terjadi. Perasaan yang meleleh. Ragu yang menembus hati dengan kekuatan yang lebih hebat dari doa para pendosa. Ada yang lepas. Menaut pada sungsai cerita lampau. Seperti anak itik yang lepas dari pelukan. Ia merupakan teriakan gagap dari orang yang menyerah.

***

Ia jalan terakhir para pecundang. Meraung dalam satu titik temu yang dilibas kegetiran. Perihal ciuman yang tak memiliki arti apapun. Atau sebuah senyum sederhana yang meremukkan. Tentang sepetak mata yang pernah ditinggali. Di sana ada sebuah guguran daun. Kering lagi rapuh. Seakan jika ada sebuah nafas yang terlampau keras terhembus. Dedaunan itu akan lumat menjadi serpih pilu. Sehingga diam adalah bahasa lain dari 'maaf'. Ia jalan terakhir para pecundang.

***

"Maka biarlah aku berlalu. Seperti gelap yang menelan malam," katamu suatu malam.
"Kau tak pernah pergi," aku menahan laut yang bergelombang dalam sudut mataku. "Kau hanya berpindah. Tapi akan selalu ada, satu pojok kecil. Sebuah lubang yang menunggu kau isi. Entah kapan,"

***

 "Kita adalah sebuah lelucon yang dibuat tuhan. Tapi terlalu gagu untuk bisa dipahami sebagai ujian,"
Karena satu adalah bahasa yang punah. Bahkan sebelum kau mencoba.


 diambil dari anatomi kehilangan milik tuan Arman Dhani Bustomi